Berita Viral | Kabar Viral | Kamu Harus Tau | Cerita Viral | Berita Hari Ini
Tragedi Mei 1998 merupakan salah satu peristiwa paling penting dan menyakitkan dalam sejarah kontemporer Indonesia. Peristiwa ini bukan hanya menjadi catatan kelam tentang kerusuhan massal, kekerasan, dan pelanggaran hak asasi manusia, tapi juga menandai awal dari babak baru dalam perjalanan bangsa: era Reformasi.
Latar Belakang Sosial dan Ekonomi
Krisis ekonomi Asia pada akhir 1997 menjadi pemicu utama ketegangan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Nilai rupiah anjlok drastis terhadap dolar AS, inflasi meroket, dan harga kebutuhan pokok naik tajam. Akibatnya, masyarakat Indonesia, terutama kelas menengah ke bawah, mengalami tekanan hidup yang luar biasa berat.
Di saat yang sama, sistem pemerintahan Orde Baru di bawah Presiden Soeharto dianggap semakin otoriter, tidak transparan, dan korup. Kesenjangan sosial meningkat, dan praktik nepotisme serta kolusi terlihat terang-terangan. Kepercayaan publik terhadap pemerintah pun kian menurun.
Munculnya Gelombang Aksi Mahasiswa
Pada awal 1998, mahasiswa dari berbagai universitas mulai menggelar demonstrasi menuntut reformasi total, termasuk pengunduran diri Soeharto. Demonstrasi ini berlangsung damai dan menyebar ke berbagai kota, seperti Yogyakarta, Bandung, Surabaya, dan tentu saja Jakarta.
Titik balik terjadi pada 12 Mei 1998, ketika empat mahasiswa Universitas Trisakti ditembak mati oleh aparat saat menggelar aksi damai. Keempatnya adalah Elang Mulia Lesmana, Hafidhin Royan, Heri Hertanto, dan Hendriawan Sie. Peristiwa ini mengguncang seluruh negeri dan menjadi pemicu ledakan kemarahan publik.
Kerusuhan Massal dan Kekerasan
Setelah peristiwa Trisakti, situasi Jakarta dan beberapa kota besar lainnya memburuk. Kerusuhan massal terjadi pada 13–15 Mei 1998. Toko-toko dijarah, pusat perbelanjaan dibakar, dan kekacauan melanda ibu kota. Salah satu tragedi paling menyedihkan adalah kekerasan terhadap warga keturunan Tionghoa, yang menjadi korban penjarahan, pemerkosaan, bahkan pembunuhan.
Laporan dari berbagai lembaga menyebutkan bahwa ratusan nyawa melayang selama kerusuhan ini, banyak di antaranya karena terjebak dalam bangunan yang dibakar. Hingga kini, sejumlah kasus pelanggaran HAM pada peristiwa tersebut belum mendapatkan keadilan yang tuntas.
Akhir dari Pemerintahan Soeharto
Tekanan terhadap Presiden Soeharto semakin kuat. Selain dari mahasiswa dan rakyat, para politisi dan tokoh nasional mulai menyatakan sikap menolak kepemimpinannya. Pada 21 Mei 1998, Soeharto secara resmi mengundurkan diri dari jabatannya setelah lebih dari 30 tahun memimpin Indonesia.
Wakil Presiden saat itu, B. J. Habibie, kemudian dilantik menjadi presiden menggantikan Soeharto, menandai dimulainya era Reformasi.
Dampak dan Warisan Reformasi
Tragedi 1998 membuka jalan bagi berbagai perubahan signifikan dalam sistem pemerintahan Indonesia. Era Reformasi membawa demokratisasi yang lebih luas, seperti kebebasan pers, pemilu yang lebih adil, otonomi daerah, dan pembubaran Dwifungsi ABRI.
Namun, warisan dari tragedi tersebut masih menyisakan luka. Hingga hari ini, masih ada tuntutan untuk mengungkap secara tuntas pelaku kekerasan dan pelanggaran HAM, terutama terkait peristiwa Trisakti, Semanggi, dan kekerasan terhadap etnis Tionghoa.
Kesimpulan
Tragedi Mei 1998 adalah simbol dari penderitaan rakyat akibat kesenjangan, otoritarianisme, dan ketidakadilan. Namun di sisi lain, ia juga menjadi titik balik penting menuju Indonesia yang lebih terbuka dan demokratis. Mengingat peristiwa ini dengan jujur dan kritis adalah bagian dari proses penyembuhan sekaligus pengingat agar bangsa ini tidak kembali mengulang luka sejarah yang sama.