Sulawesi Selatan, dengan garis pantai yang panjang dan laut yang luas, telah lama menjadi tempat berkembangnya peradaban maritim yang kuat. Dua etnis besar yang mendominasi wilayah ini—Bugis dan Makassar—memiliki sejarah yang saling terkait namun kaya dengan keunikan masing-masing. Budaya Bugis-Makassar adalah mozaik tradisi, kekuasaan kerajaan, kepiawaian dalam pelayaran, serta praktik-praktik adat yang masih bertahan hingga kini.
Warisan Kerajaan: Gowa, Tallo, dan Bone
Dalam lintasan sejarah, kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan memainkan peran penting dalam pembentukan identitas budaya Bugis-Makassar. Salah satu kerajaan terbesar di kawasan ini adalah Kerajaan Gowa, yang bersama Tallo, menjadi pusat kekuasaan masyarakat Makassar. Sementara itu, Kerajaan Bone menjadi kekuatan utama di kalangan Bugis.
Kerajaan Gowa mencapai puncak kejayaannya pada abad ke-17 di bawah pemerintahan Sultan Hasanuddin, yang dikenal karena perlawanan heroiknya terhadap kolonialisme Belanda. Kerajaan ini bukan hanya pusat kekuatan militer dan politik, tetapi juga pusat perdagangan internasional, terutama karena pelabuhan Somba Opu yang terkenal pada masanya.
Di sisi lain, Bone menjadi representasi dari tata pemerintahan Bugis yang berlandaskan hukum adat dan sistem aristokrasi. Hubungan antar kerajaan ini, baik dalam bentuk aliansi maupun konflik, membentuk dinamika sosial dan budaya masyarakat Bugis-Makassar hingga kini.
Pelaut Ulung: Menaklukkan Lautan Nusantara
Salah satu identitas paling menonjol dari masyarakat Bugis-Makassar adalah kemahiran mereka dalam bidang pelayaran. Sejak zaman dahulu, pelaut Bugis dikenal menjelajah jauh hingga ke Malaysia, Filipina, bahkan Australia Utara. Mereka tidak hanya berdagang, tetapi juga menyebarkan pengaruh budaya dan kadang-kadang bahkan membentuk komunitas diaspora.
Keahlian dalam membuat kapal seperti perahu pinisi menjadi simbol kejayaan maritim mereka. Perahu ini, yang kini diakui UNESCO sebagai warisan budaya dunia, menunjukkan betapa tinggi tingkat teknologi tradisional dan estetika yang dimiliki nenek moyang Bugis-Makassar.
Para pelaut ini juga dikenal sebagai penjelajah ulung yang menyusun peta navigasi berdasarkan bintang, angin, dan arus laut. Mereka bukan hanya pedagang, tetapi juga penjaga tradisi dan pembawa budaya antar wilayah.
Sistem Sosial dan Konsep Kehormatan
Masyarakat Bugis dan Makassar memiliki sistem sosial yang sangat kuat dan berstruktur, dengan nilai-nilai seperti “siri’” (harga diri) dan “pesse” (empati/simpati) sebagai inti moral masyarakat.
Siri’ bukan sekadar rasa malu, tetapi mencakup seluruh martabat individu dan komunitas. Melanggar siri’ bisa berarti menodai kehormatan keluarga atau suku, dan dalam beberapa kasus, bisa memicu konflik besar. Di sinilah budaya Bugis-Makassar menjadi sangat menarik: nilai-nilai sosial mereka menuntut keterikatan kuat antara kehormatan pribadi dan tanggung jawab sosial.
Nilai ini juga memengaruhi sistem pemerintahan tradisional yang berbasis pada aristokrasi dan hierarki sosial, di mana bangsawan (ana’ karaeng/ana’ arung) memiliki peran sentral dalam pengambilan keputusan adat.
Ritual dan Tradisi yang Masih Hidup
Budaya Bugis-Makassar juga kaya akan ritual dan upacara yang terkait dengan siklus hidup, musim, dan kepercayaan. Salah satu tradisi paling ikonik adalah upacara Mappacci, yang merupakan bagian dari prosesi pernikahan. Mappacci adalah ritual pembersihan diri dan doa untuk keselamatan dan kebahagiaan pengantin.
Ada juga tradisi Maudu Lompoa, perayaan kelahiran Nabi Muhammad SAW yang dilakukan oleh masyarakat Gowa, yang memadukan elemen keislaman dan budaya lokal dalam satu perayaan megah.
Di beberapa daerah, praktik spiritual kuno masih bercampur dengan Islam, menghasilkan bentuk kepercayaan yang unik seperti penghormatan terhadap Bissu, yaitu imam androgini dalam tradisi Bugis yang dianggap sebagai penjaga spiritual dan penghubung antara dunia nyata dan dunia roh.
Aksara Lontara dan Sastra Kuno
Budaya Bugis-Makassar juga tercermin dalam kekayaan literatur mereka. Aksara Lontara, yang berasal dari kata lontar (daun lontar), digunakan untuk menulis berbagai teks hukum, silsilah kerajaan, serta epos seperti Sureq Galigo, salah satu karya sastra terpanjang di dunia.
Sureq Galigo menceritakan asal-usul manusia menurut kosmologi Bugis dan hingga kini dianggap sebagai warisan budaya tak ternilai. Naskah ini tidak hanya penting dalam sejarah sastra Indonesia, tetapi juga menyimpan kearifan lokal tentang alam, etika, dan hubungan manusia dengan spiritualitas.
Modernitas dan Pelestarian Budaya
Meski modernitas telah merambah banyak sisi kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan, budaya Bugis-Makassar tetap bertahan. Pemerintah daerah, bersama komunitas adat dan tokoh budaya, terus mengupayakan pelestarian tradisi melalui festival budaya, museum, hingga pendidikan berbasis lokal.
Di kota Makassar maupun daerah-daerah seperti Soppeng, Bone, dan Bulukumba, kita masih dapat menyaksikan bagaimana budaya ini hidup berdampingan dengan zaman modern: dari prosesi adat, musik tradisional, hingga nilai-nilai kekerabatan yang masih kuat dalam struktur sosial masyarakatnya.
Kesimpulan
Budaya Bugis-Makassar adalah perpaduan harmonis antara sejarah kerajaan yang agung, keahlian maritim yang mengagumkan, dan sistem nilai sosial yang kompleks. Dari pelabuhan-pelabuhan dagang zaman dahulu hingga ritual adat yang masih dijaga dengan hormat, budaya ini menunjukkan kekayaan dan daya tahan sebuah peradaban.
Melacak jejak mereka berarti memahami satu bagian penting dari mosaik kebudayaan Indonesia. Karena di balik layar kapal pinisi, gemuruh ombak, dan nyanyian ritual, tersimpan kisah tentang manusia yang teguh, penuh semangat, dan tidak pernah lepas dari jati dirinya.